Pulau Bali berjuluk Pulau Dewata, sudah dikenal mendunia, terutama di bidang pariwisata. Terlebih berbagai warisan budaya di Pulau Bali, sampai sekarang masih kokok bertahan. Warga Bali, juga tak malu mempertahankan tradisi leluhur mereka meski arus globalisasi terus menggempur.
Sampai saat ini, Pura Tirta Empul menjadi salah satu primadona para wisatawan yang berkunjung ke Pulau Bali. Tidak kurang dari 4000 – 5000 wisatawan mengunjungi Pura yang berdiri sejak tahun 225 Masehi ini.
Sejarah Tirta Empul
Menurut cerita yang tertulis di lontar “Mayadanawantaka”. Raja Mayadenawa, merupakan putra Bhagawan Kasyapa dan Dewi Danu. Mayadenawa, adalah raja yang pandai, sakti namun memiliki sifat durjana, yakni sifat berhasrat menguasai dunia dan mabuk akan kekuasaan. Ia juga mengklaim sebagai Dewa dan mengharuskan rakyat untuk menyembahnya.
Dalam mitos yang berkembang, akibat tabiat buruknya, Batara Indra marah dan menyerbunya melalui bala tentara yang dikirim. Karena terdesak, Mayadenawa melarikan diri ke hutan dan berupaya mengecoh pasukan Batara Indra engan memiringkan telapak kakinya saat melangkah. Konon dengan kesaktian yang dimilikinya, ia bisa berubah-ubah wujud atau rupa.
Mayadenawa juga menciptakan mata air beracun, untuk membinasakan pasukan Batara Indra. Menghadapi trik Mayadenawa, Batara Indra pun tak mau kalah dan menciptakan mata air penawar racun. Air penawar itulah yang kemudian menyelamatkan nyawa pasukan Batara Indra hingga kemudian berhasil menangkap Mayadenawa.
Air penawar itulah yang kini disebut Tirta Empul (air suci). Sedangkan kawasan hutan yang dilewati Mayadenawa — dengan berjalan memiringkan telapak kakinya — dikenal dengan sebutan Tampaksiring.
Versi lain, seperti yang ditulis Ketut Soebandi, dalam buku “Sejarah Pembangunan Pura-Pura di Bali” menyebutkan, Permandian Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa. Salah satu buktinya adalah piagam batu di desa Manukaya yang memuat tulisan permandian Tirta Empul dibangun pada Sasih Kapat tahun Icaka 884, atau sekitar Oktober tahun 962 Masehi.
DIsebutkan juga kalau Pura Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Masula Masuli. Hal ini dapat diketahui dari bunyi lontar Usana Bali. Isi dari lontar itu: [ “Tatkala itu senang hatinya orang Bali semua, dipimpin oleh Baginda Raja Masula Masuli, dan rakyat seluruhnya merasa gembira, semua rakyat sama-sama mengeluarkan padas, serta bahan bangunan lainnya, seperti dari Blahbatuh, Pejeng, Tampaksiring” ].
Dalam Prasasti Sading disebutkan, Raja Masula Masuli bertahta di Bali mulai tahun Saka 1100 atau tahun 1178 M, yang memerintah selama 77 tahun. Berarti ada perbedaan waktu sekitar 216 tahun antara pembangunan permandian Tirta Empul dengan pembangunan puranya.
Mitos Tirta Empul
Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul terkait erat dengan mitologi pertempuran Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan Bhatara Indra. Air suci inilah yang digunakan untuk memerciki para Dewa sehingga tak lama kemudian mereka bisa hidup lagi seperti sedia kala.
Secara etimologi, Tirta Empul berarti air suci yang menyembul keluar dari tanah. Air tersebut kemudian mengalir ke sungai Pakerisan. Sumber air ini kerap digunakan untuk Upacara Melukat oleh ribuan penduduk Bali dengan makna sebagai perlambang pembersihan manusia dari berbagai hal-hal negatif.
Air suci yang mengalir di 33 pancuran tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Namun, secara umum, air suci tersebut, seringkali digunakan untuk membuang sengkala (keburukan), soal jodoh, rejeki dan mengusir roh jahat dari dalam tubuh manusia. Ada aturan tertentu untuk pengunjung yang melakukan ritual di pemandian Tirta Empul. Diantaranya, tidak dalam kondisi menstruasi atau datang bulan (untuk perempuan), kondisi jiwa yang baik, serta memberikan sesaji untuk penguasa alam atau Tuhan.
Sebelum melakukan ritual di pemandian Tirta Empul, pengunjung harus melakukan doa terlebih dahulu. Tujuan doa adalah mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya dan memohon restu agar dikabulkan oleh Tuhan. Pengunjung yang melakukan ritual di pemandian Tirta Empul, tidak hanya umat Hindu atau masyarakat Bali saja. Banyak diantara mereka yang berasal dari luar Bali, seperti Sumatera, Jawa Barat, Jakarta hingga Kalimantan. Biasanya mereka akan kembali ke Pemandian Tirta Empul, setelah permohonannya dikabulkan oleh Tuhan.
0 comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.